Home » » Adnan PMTOH, Tokoh Pelestari Hikayat

Adnan PMTOH, Tokoh Pelestari Hikayat

Written By Unknown on Monday, 16 December 2013 | 01:42

Tik…tak…tik…tak….

Dengan mesin ketik tua, Teuku Abdullah Sakti tekun merangkai kata. Suatu sore dua pekan lalu, Sakti berjuang mengalihaksarakan Hikayat Tambeh, yang berhuruf Arab-Melayu, ke aksara Latin. Hikayat itu berisi ajaran agama Islam dan nasihat hidup.

Saban hari, dari sore hingga tengah malam, Sakti bergelut dengan pekerjaan yang telah ditekuninya sejak 1990. Ia bekerja sendirian di bilik 4 x 3 meter di rumahnya di  Banda Aceh. Rutinitasnya itu dilakoninya di sela-sela kesibukannya yang rutin.

Hingga kini Sakti telah mengalihaksarakan 28 hikayat lama Aceh. Hikayat-hikayat beraksara Arab Melayu  dan berbahasa Aceh atau Melayu itu ditulis kembali dalam huruf Latin. Sebagian pernah dimuat berkala di media lokal. Hikayat itu juga dituangkannya dalam bentuk buku saku. “Saya berharap agar semua orang Aceh bisa membacanya,” katanya.

Pemindahan ke dalam aksara Latin itu sebenarnya pernah dilakukan oleh Hosein Djajadiningrat, asisten Snouck Hurgronje di Universitas Leiden, Belanda. Hosein bersama Timnya telah menulis ulang sekitar 600 hikayat. Hikayat itu pernah dibeli oleh Muhammad Yamin, salah satu penggagas Kongres Pemuda 1928. Namun, nasib 600 naskah itu tak lagi diketahui.

Lahir di  Pidie, 52 tahun lalu, Sakti mulai terketuk mempelajari hikayat lama Aceh pada 1967. Saat itu ia begitu tersihir menyaksikan pentas Teungku Adnan PMTOH di Lapangan Bakti, Sigli. Adnan begitu mahir mengisahkan Hikayat Dang Deuria dan Hikayat Malem Diwa di luar kepala, ditambah alat-alat peraga yang bagus dan menghibur. “Kepiawaian Adnan yang mendorong saya mengumpulkan hikayat-hikayat Aceh,” Sakti mengenang.

Awalnya, Sakti hanya mengumpulkan sejumlah hikayat lama Aceh dan Melayu warisan keluarganya. Ia membaca dan menghafalkannya. Tapi, ketika menginjak remaja, kebiasannya itu luntur digantikan dengan musik pop. Pada 1985, ia kembali tergelitik hikayat saat terkena musibah dan harus dirawat di Beutong, Aceh Barat. Sambil memulihkan patah kakinya, kepadanya kerap didendangkan hikayat.

Pada 1992, Sakti mulai tekun mengumpulkan kembali hikayat ketika diangkat menjadi dosen. Banyak kendala yang merintanginya. Sejumlah naskah hikayat lama banyak yang hilang saat konflik membakar Aceh. Bencana tsunami ikut mengempaskan tempat penyimpanan naskah hikayat lama, seperti Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh yang rata dengan tanah.

Menurut Sakti, ia hanya berhasil mengumpulkan sekitar seratus hikayat. Naskah-naskah hikayat berhuruf Arab-Melayu itu kini tersimpan di sebuah lemari kayu di rumahnya. Sebagian naskah kuno itu hampir tak terbaca. “Hikayat-hikayat ini sempat basah terendam tsunami,” katanya. “Setelah terkumpul, saya kemudian menuliskan kembali dan mengalihaksarakannya.”

Puluhan hikayat yang dituliskannya kembali cukup beragam. Antara lain Hikayat Meudeuhak (cerita tentang keberhasilan raja), Gomtala Syah (kisah binatang),  dan Hikayat Tajussalatin (pedoman dan nasihat untuk raja-raja). Pelbagai hikayat itu telah berumur ratusan tahun. Hikayat Tajussalatin, misalnya, telah dikarang sejak 1603 oleh Bukhari Al-Jauhari atas perintah Sultan Aceh. Hikayat itu berbahasa Melayu dan ditulis dalam huruf Arab.

Meski banyak kendala dan memiliki keterbatasan, Sakti tetap bersemangat mengetik. Semangatnya kian membara justru ketika sang inspirator, Adnan PMTOH, wafat awal Juli lalu. Menurut dia, kematian tokoh penghikayat Aceh itu membuatnya gundah. Ia takut suatu saat tak ada lagi yang merawat dan membacakan hikayat.

Di sebuah bilik rumahnya, Sakti masih meneruskan tugasnya mengalihaksarakan naskah berhuruf Arab ke aksara Latin. Tik…tak…tik…tak….

Sumber: Tempo
Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. PIKIRANKITA.COM | MERAWAT ACEH - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Shared by Vice Blogger | Proudly powered by Blogger